Kamis, 13 Juli 2017

Hantu Sinden Kuning

Tags


Rabu, 28 oktober 2015. Tepat pukul 22.00 malam aku pulang dari rumah teman yang terletak di Lippo, Cikarang. Sendiri, ya hanya sendiri. Takut?! Tak ada kata itu didalam kamusku. Aku pacu pelan kecepatan bebek hitamku. Tiba dijalan Cilampayan, desa Pasir Tanjung, gerimis menemaniku. Tak ada niat untuk terburu sampai dirumah. Basah tak apa pikirku.

Dengan kecepatan yang stabil aku menikmati gelapnya jalan. Hanya ada lampu penerang jalan yang sling berjauhan. Bukan aku tak tahu ada cerita apa disepanjang jalan ini. Cerita yang telah menjadi buah bibir orang-orang sekitar Cikarang. Bahwa sinden yang dibegal dan diperk*sa belasan tahun lalu menguasai jalur ini. Tapi selama ini aku selalu aman. Bahkan saat pemakaman umum yang dikelilingi sawah digusur untuk dijadikan lapas, aku dan teman-teman sering nongkrong disini.

Bahkan terkadang menginap dibedeng para pekerja yang tengah membuat pondasi aku sering. Maklum tetanggaku salah satu bagian dari kuli. Kini, jalan semakin terang. Lapasnya pun telah resmi dibuka awal tahun ini. Sampai didepan lapas. Di bawah lampu jalan aku berhenti. Aku masukkan ponsel dan rokokku kedalam jok maticku. Setelah kurasa aman dari air hujan, aku kembali meneruskan perjalanan. Lapas kulewati. Sambil mengingat lirik lagu reagge yang tengah kuhafal, aku berhenti kembali. 100 meter dari lapas. Bandar Sakong Online

“Buset deh. Kenapa gak dari tadi sih. Sekalian” aku ngedumel sendiri. Buang air, ya aku kebelet buang air. Ya sudah aku buang air kecil saja dipinggir kali disamping. Setelah selesai aku sadar. Ternyata diseberang ada orang yang memperhatikanku. Seorang wanita sepertinya. “Mau boker kali” pikirku. Karna memang banyak jamban yang berdiri diatas sungai.

Wanita itu tak juga kunjung pergi. Dia terus memperhatikanku. Aku pun jadi peenasaran siapa dia. Mengapa begitu terpaku. Otak ngeres pun keluar. Jangan-jangan dia salah satu p*kc*n yang sedang sepi pelanggan. Atau ibu-ibu yang sudah lama tak terjamah. “Maaf bu numpang buang air kecil” kataku dari kejauhan mencoba memancing. Wanita yang baru kusadari, berkabaya kuning itu hanya tersenyum.

Bukannya senang karena pancingan berhasil aku malah merinding. “Sinden” pikirku. Lidahku kelu. Langkahku berat. Wangi melati semakin membuat bulu romaku berdiri. Aku tak tahu apa yang tengah kurasakan. Jantung mengencang. Seluruh tubuh bak kesetrum. Pelan sekali rasanya langkahku. Berat sekali kaki ini. Sinden kebaya kuning yang terkenal sebagai ratu sinden 98-98.

Yang meninggal karena dibegal dan diperk*sa itu. Dia kembali tersenyum. Senyumnya semakin lebar. Membuatku merasa ketakutan berlipat-lipat dari sebelumnya. Gugur sudah kamusku yang mengharamkan takut. Kini aku merasakan juga takut itu. (Menghilang). Ya dia menghilang. Membuat suaraku keluar dan langkah ringan. Capsa Susun Online

“*Arght” aku menaiki maticku. “Allahuakbar” lanjutku saat melihatnya tepat didepan motorku. Seketika lenyap. Aku tarik gas dengan kencang. Aku rasakan ada yang mendekap tubuhku. Erat sangat erat. Melati yang begitu semerbak. Menangis, dia terisak dibelakang telingaku. Tangan pucatnya melingkar dipinggangku, aku semakin berat. Nyawaku bagai terlepas.

“Tolong aa” bisiknya. Membuatku membabi buta. Aku tarik lebih kencang dan diluar kendaliku. Motorku membelok kearah kali. Aku nyemplung kali. Terakhir yang kudengar hanya tangis dan tawanya yang menyayat kulit ini. Beruntung aku bisa selamat. Warga yang tengah nongkrong di pos ronda, melihatku. Mereka membantuku dan menaikkan motorku. Hampir satu jam mengangkat motorku. Karena tidak menggunakan alat berat. Aku pun diantar pulang. Karena motor mogok.

“Makanya lain kali jangan suka buang air disembarang tempat” ujar pak RT, yang selalu aku ingat sampai kini. “Buang airnya berdiri sih. Makanya jongkok. Pahala dapat, kita pun gak pamer aurat kepada yang halus” lanjut pak RT, yang tak pernah aku tinggalkan.