Jumat, 03 Maret 2017

Kisah Tragis Manusia Super Jenius

Tags


Menjadi jenius mungkin dambaan mayoritas manusia. Masalahnya, pengharapan sekaligus tekanan berlebih bisa mengorbankan hidup orang yang berotak super. Contoh paling tragis terekam pada kisah William J Sidis, si jenius ber-IQ 250 – 300.

Mungkin belum banyak yang mengenal nama William J Sidis. Kisah berikut akan menjelaskan siapa, apa, dan bagaimana kiprahnya di dunia keilmuan. Sebuah dunia yang mendewakan manusia-manusia super cerdas, lalu lalai pada sisi kemanusiaan itu sendiri.

Seperti dilansir apakabardunia.com, berawal dari Boris dan Sarah Sidis, pasutri Yahudi Ukraina yang menjadi imigran ke Amerika Serikat di akhir abad 19 akibat tekanan politik dan agama di negara asal mereka. Boris dan Sarah kemudian menetap di New York. Dalam waktu singkat, Boris menjadi psikolog cukup terkenal berkat metode hipnosis.Sarah menjadi dokter, dan di jaman itu ia satu-satunya perempuan yang mendapat gelar dokter. Karir pasutri ini sangat cemerlang.

Apakah semua cukup? Belum. Mereka menginginkan anak-anak yang bakal mewarisi kecemerlangan otak mereka. Dan, pada tanggal 1 April 1898, Sarah melahirkan anak pertama pasangan itu, William James Sidis.

Sejak kecil, pendidikan (atau pembentukan? pen.) William dimulai begitu intens. Tabungan keluarga digunakan untuk buku, mainan, serta perlengkapan lain yang bisa mendorong san anak berkembang cepat. Memanfaatkan teknik psikologi inovatif Boris , William diajarkan untuk mengenali dan mengucapkan huruf dari alfabet dalam beberapa bulan. Si kecil sudah bisa berbicara seperti “door” (pintu) saat usianya 6 bulan. Serta terampil makan sendiri dengan sendok ketika 8 bulan.

Apa bayangan Anda tentang William? ya, anak ajaib. Demikian pula Boris dan Sarah, mereka sangat bangga. Bayangkan, saat menginjak usia 2 tahun William sudah bisa membaca harian New York Times dan mengetik dengan bahasa Inggris dan Perancis. Domino 99

Sisi negatifnya, pelatihan berlebih ditambah atensi media (berkat Sarah yang suka menulis jurnal memamerkan keberhasilan anak mereka) mengakibatkan William kehilangan sisi “anak” yang seharusnya bermain dengan teman seusianya. Di usia 9 tahun ia sudah diterima di Harvard, walau pihak kampus menolaknya hadir di kelas karena secara emosional ia belum dewasa.

Orang tua William menekan Harvard dengan menuliskan kisah tersebut hingga dimuat di halaman pertama New York Times. Lalu Tufts College juga mengaku pada publik bahwa William mengoreksi kesalahan dalam buku-buku matematika dan mencoba untuk menemukan kesalahan dalam teori relativitas Einstein.

Akhirnya Harvard menyerah, William pun bisa kuliah. Ia terdaftar sebagai mahasiswa ketika usianya mencapai 11 tahun.

Boston, 1910. Di puncak musim dingin, ratusan orang hadir mendengarkan bocah ajaib William J Sidis berbicara tentang dimensi ke-4 pada tubuh manusia. Kabar ini menyebar cepat, dunia terkesima. Media mendapat sumber berita paling sensasional. Wartawan pun terus menguntit William di kampusnya. Bagaikan selebritas, ia tak punya waktu privasi lagi.

Di usia 16 tahun akhirnya William lulus dari Harvard dengan predikat cum laude. Membanggakan bagi orang tua dan publik, tapi tidak bagi William. Menurut penulis biografi Sidis Amy Wallace , William pernah mengaku tidak pernah mencium seorang gadis. Suatu hal yang ‘aneh’ dalam budaya remaja Amerika. Saat wisuda, ia memberi pernyataan terbuka pada wartawan, “Saya ingin menjalani kehidupan yang sempurna. Satu-satunya cara untuk menjalani kehidupan yang sempurna adalah hidup dalam pengasingan. Saya selalu membenci orang banyak.”

Setelah meninggalkan Harvard, masyarakat dan orang tuanya mengharapkan hal-hal besar dari William. Dia memang mengajar matematika di Rice University di Houston, Texas. Faktanya, usia William yang lebih muda dari semua siswanya mengakibatkan kesulitan dalam mengajar. Dia pun mengundurkan diri dan pindah kembali ke Boston. BandarQ

Penarikan diri William dari dunia, memutuskan kontak dengan orang tuanya, menggiring William dalam kesendirian sebagai anti-sosial. Meskipun media tetap berusaha menjadikannya sumber berita. Tulisan di The New Yorker tahun 1937 yang memuat tulisan seorang reporter wanita yang dikirim untuk berteman sambil mengorek rahasia hidup William merupakan aib terbesar dalam hidupnya. Penggambaran dirinya yang kekanak-kanakan, atau menangis di tempat kerja sungguh kisah memalukan. Tuntutan William pada The New Yorker sempat sampai ke Mahkamah Agung, bagaimanapun publik telah melihat ‘kehancuran’ William yang gagal menjadi seorang pria seperti seharusnya.

Akhirnya di sebuah hari saat musim panas bulan Juli 1944, William ditemukan tak sadarkan diri dalam apartemen kecilnya di Boston. Ia terserang stroke, otaknya sekarat. Tak pernah sadar lagi dan meninggal di usia 46 tahun. Satu kenangan yang tersisa hanya foto dalam dompetnya, foto Martha Foley…

Sumber : http://terselubung.in/kisah-tragis-manusia-super-jenius/