Rabu, 30 Agustus 2017

Mitos Bulan Suro dan Spiritualitas Orang Jawa

Tags


Muharram sebagai penanda dari awal permulaan tahun Hijriyah merupakan salah satu bulan yang penting bagi umat Islam. Dalam kebudayaan Jawa, Muharram disebut dengan bulan Suro. Bulan ini disakralkan oleh orang-orang Jawa, khususnya mereka yang masih memegang kepercayaan kejawen. Saking disakralkannya, muncullah beberapa mitos bulan Suro, yang kebenaran atau manfaatnya terkadang belum dapat dipahami secara menyeluruh dan mendalam. Bandarq terbaik

Biasanya, tahun baru akan menjadi momen yang sangat meriah bagi kebanyakan orang. Bunyi terompet atau kembang api akan menggaung di udara. Tetapi, hal itu bertolak belakang dengan penyambutan tahun baru dalam Islam atau kebudayaan Jawa. Penyambutan untuk bulan Muharram atau Suro jauh dari hingar-bingar, malahan terkesan sepi atau lebih sederhana. Mitos bulan Suro menyebutkan bahwa pada bulan ini banyak musibah atau kesialan yang akan diturunkan. Guna mencegah kejadian yang tidak diinginkan, maka manusia harus dapat mengendalikan tingkah lakunya. Banyak pantangan yang tidak boleh dilanggar. Selain itu, terdapat beberapa ritual yang sebaiknya dilakukan. Berikut adalah ritual yang biasanya dilakukan oleh orang Jawa dalam menyambut datangnya bulan Suro.

Siraman Malam Satu Suro


Ritual ini sudah menjadi bagian dari mitos bulan Suro. Siraman ini dilakukan dengan mengguyur seluruh anggota tubuh dengan air yang bercampur bunga setaman. Ketika mandi, hendaknya jangan sampai lupa untuk berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa. Siraman merupakan bentuk simbolik dari spiritualitas orang Jawa. Kegiatan ini mempunyai makna yang sangat dalam. Bukan hanya sekedar mandi, tetapi sebenarnya tujuan diadakan ritual siraman adalah untuk membersihkan jiwa raga dari segala nafsu dan pikiran yang negatif. Dalam menyambut hari yang baru, hendaknya segala keburukan di masa lalu ditinggalkan dan di hari depan kebaikan semakin ditingkatkan. Seusai mandi dan memanjatkan doa, seyogyanya manusia selalu ingat bahwa tujuan pembersihan tubuh itu adalah untuk mengingatkan diri agar selalu menyucikan jiwa dan raga.

Tapa Mbisu (Puasa Bicara)


Lidah kita tidak bertulang, tetapi sekali ia berulah, maka ketajamannya bisa melebihi pedang. Sering kali, dalam berbicara kita kurang berhati-hati, yang pada akhirnya dapat menyebabkan orang lain sakit hati. Tapa Mbisu dalam mitos bulan Suro dilakukan untuk mengintrospeksi diri kita sendiri. Dengan puasa bicara, kita dilatih untuk tenang, fokus dan merenungkan segala kesalahan kita. Diharapkan, setelah melakukan ritual ini, kita semakin berhati-hati dalam berucap. Jangan sampai mengatakan hal-hal yang buruk, terlebih mencela orang lain. Di bulan Suro kita juga dianjurkan sering berziarah untuk mendoakan mereka yang mendahului kita. Selain itu, dengan sering berziarah, kita diingatkan bahwa hidup di dunia hanyalah sementara, urip mung mampir ngombe, ‘hidup hanya mampir (untuk) minum’. Selain ritual-ritual tersebut, masih ada beberapa ritual lain pada bulan suro seperti larung sesaji dan ritual jamasan pusaka. Bandar terbaik

Dalam Islam, Muharram adalah bulan Allah dan menjadi salah satu bulan yang suci. Lantas mengapa dalam budaya Jawa, bulan ini dianggap sebagai bulan yang penuh kesialan? Di bulan Muharram, Allah melarang manusia melakukan perbuatan yang tercela, sebab itu hanya akan menambah dosa dan merugikan diri sendiri. Sebenarnya, pemikiran orang Jawa pun merujuk pada pesan itu. Pada bulan suci, tidak patut jika manusia sebagai makhluk Tuhan, mengotori bulan ini dengan tingkah lakunya yang tercela. Apabila manusia melanggar perintah-Nya, pantaslah dia mendapatkan musibah. Kesialan dalam mitos bulan Suro sebenarnya ditujukan sebagai peringatan bagi orang-orang yang lalai. Mereka yang tidak eling lan waspada, maka akan celakalah dia.