Ketika aku masih kecil, ada salah seorang tetangga kami yang hidupnya serba berkecukupan, usahanya maju, rumahnya bagus, dan uangnya banyak, saking banyaknya uang tersebut, mereka membuka usaha baru, yaitu menjadi rentenir, si lintah darat itu. Semakin hari kekayaannya semakin bertambah banyak akan tetapi hal itu berbanding terbalik dengan kekayaan hati yang dimilikinya yang kian hari kian menipis bahkan mungkin menghilang, tidak punya kekayaan hati sama sekali. Oleh karena itulah, mereka selalu membusungkan dada mereka dan menganggap tetangga mereka hanyalah lalat-lalat pengganggu sehingga tak perlu menjaga omongan kepada tetangga. Semua tetangga pernah dihinanya termasuk juga keluargaku, ayah, ibu, aku, kakak-ku, adik-ku, semuanya tidak luput dari hinaan mereka. Apalagi memang dari dulu sampai hari itu bahkan sampai sekarang, keluargaku selalu jadi bahan hinaan para tetangga. Huh, apakah itu hanya karena ibuku orang jawa? Tapi bukankah sunda ataupun jawa sama saja di hadapan Tuhan? Yang membedakan hanyalah ketakwaan saja.
Iskandar (suami), Rohaya (istri), Budi (anak tertua), Andi (anak tengah, seumuran denganku), dan Sugianto (anak bungsu), merekalah tetangga yang ku maksudkan, rumah mereka persis berada di depan rumahku. Rohaya dan Andi, kedua orang itulah yang paling keras dalam menghina dan memusuhi kami. Cacian dan hinaan mereka berdua begitu melapaui batas untuk di terima oleh manusia. Tidak jarang jika Rohaya ini lewat di depan rumah kami, dia meludahi pekarangan rumah kami dan mengejek keadaan rumah kami yang memang begitu sederhana, ia menyebut rumah kami dengan sebutan Anggar Lima. Bahkan tidak hanya itu, pernah suatu ketika aku sedang bermain sendiri di sisi jalan depan rumahku. Tiba-tiba Si Andi datang dengan membawa bambu sebesar betis orang dewasa dan langsung mengambil uang receh yang sedang aku mainkan maka aku pun berusaha untuk mengambilnya kembali sehingga terjadilah aksi tarik menarik antara aku dengannya. Ketika uang itu berhasil ku ambil, Si Andi langsung memukulkan bambu ke pundakku dengan keras hingga aku pun terjatuh. Jika saja bukan karena pertolongan Alloh mungkin aku sudah kehilangan nyawa gara-gara pukulan itu. Saat itulah, terjadi percekcokan hebat antara ibuku dengan Rohaya sehingga ibuku merasa begitu sakit hati, sampai-sampai imannya hampir luntur.
“Aduh…pak! Hati ini panas, dada ini terasa sesak, nafas ini tersengal-sengal, aku sudah tidak tahan lagi dengan hinaannya. Biarkan, biarkan aku pergi ke Cirebon atau ke Banten, aku akan santet mereka hingga mati semuanya…”, kata ibuku diiringi tangisan yang tersedu-sedu di pangkuan ayahku.
“Sabar, sabar istriku! Sabar…biarkan mereka menghina sesukanya terhadap kita. Ingatlah, Alloh pasti membalas perbuatan mereka dalam waktu dekat ini…Sabar, jika mamah pergi dan menyantet mereka maka apa bedanya kita dengan mereka? Bukankah kita jadi lebih kejam dari mereka? Sabar, Sabar, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar…”, ucap ayahku berusaha mendinginkan amarah ibuku yang sedang memuncak.
Ayahku terus menasehati ibuku dengan kata-kata yang bijak hingga ibuku pun terlelap dalam tidur dipangkuan ayahku.
Beberapa bulan kemudian, apa yang diucapkan oleh ayahku benar-benar terjadi, Alloh benar membalas perbuatan mereka selama ini dengan balasan yang sebaik-baiknya. Usaha mereka bangkrut, rumah tangga mereka hancur berantakan, pihak bank memburu mereka karena hutang mereka, rumah bagus mereka digadaikan begitu juga tanahnya, perabotan rumah mereka semuanya diambil dan disita oleh pihak bank. Mendengar hal itu, ayahku berkata,
“Tuh, kan mah! Alloh pasti akan membalas perbuatan mereka dalam waktu dekat ini…sekarang lihatlah mereka, mereka sekarang lebih miskin dan lebih terhina daripada kita…Sungguh, mah! Alloh itu tidak akan mengingkari janji-Nya.”, komentar ayahku.
“Iya, pak! Bapak benar…”, jawab ibuku.
Beberapa minggu kemudian, datanglah Iskandar dan Rohaya untuk meminta maaf atas semua kesalahan mereka kepada keluargaku. Mereka berdua tersungkur dan menubruk ibuku, bersungguh-sungguh memohon maaf. Hati kami iba dibuatnya, tak tega kami melihat tetangga kami menghinakan dirinya di depan kami seperti itu walaupun dahulu mereka benar-benar telah menghina kami tapi hati kami tetap merasa terenyuh dibuatnya. Akhirnya, dengan berat hati, kami pun akhirnya memaafkan mereka walaupun begitu terasa berat di hati kami apalagi mengingat semua kejahatan mereka. Setelah itu, mereka berdua pergi dari kampungku guna menghindari serbuan pihak bank yang menagih hutang terus menerus kepada mereka. Kini mereka berdua telah berpisah (cerai) dan sekarang entah dimana keberadaannya, semua anaknya dititipkan kepada Ibunya Rohaya dan sekarang sudah besar bahkan sebagiannya telah berkeluarga.
Namun, ternyata ada rahasia dibalik semua kehancuran total itu. Ma Rini, yang merupakan Ibunya Rohaya menceritakan kepada ibuku perihal sesuatu yang menjadi rahasia anaknya, mengapa bisa jadi kaya dan mengapa bisa jatuh mendadak. Kisah ini hanya diceritakan kepada ibuku saja, tidak kepada yang lain. Marilah kita dengar kisah rahasia yang dibuka oleh Ma Rini tersebut :
Malam itu, Rohaya tidak bisa duduk dengan tenang, ia sedari tadi terus mondar-mandir kesana kemari dengan raut wajah seperti orang yang mencemaskan sesuatu. Aku sebagai ibunya tidak tega melihat dia seperti itu, aku pun bertanya kepadanya dengan berbisik-bisik :
“Ada apa, Neng? Kenapa kamu gelisah seperti itu? Apakah malam ini adalah waktunya?”, tanyaku penasaran karena aku mengetahui akan rahasia anakku itu.
“Nggg….”, jawabnya.
Dari jawabannya, aku mengetahui bahwa sekaranglah waktunya perjanjian itu harus dipenuhi. Tapi, aku sebagai ibunya tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah karena itu sudah perjanjiannya dengan makhluk itu yang sudah disepakati bersama, tidak bisa dibatalkan sama sekali.
Iskandar, suaminya merasa curiga dengan gerak-gerik kami berdua hingga akhirnya ia pun mengintrogasi istrinya. Ia memaksa istrinya untuk berterus terang tentang apa yang sudah terjadi tetapi anakku itu tetap saja mengelak dari pertanyaan yang dilontarkan oleh suaminya. Hingga akhirnya, iskandar pun mulai berbuat anarkis terhadap istrinya. Dan oleh sebab itu, Rohaya pun berbicara jujur juga mengenai persekutuannya dengan setan.
“Oke, mas! Aku jujur sekarang, aku telah melakukan pesugihan kepada siluman buaya putih karena aku tak kuat hidup miskin terus menerus, aku tak mau dihinakan oleh tetangga, dan aku akan tunjukkan pada mereka bahwa aku juga bisa kaya bahkan melebihi mereka…Dan sekarang adalah malam yang telah disepakati olehku dan siluman tersebut.”, jelas Rohaya dengan nada terbata-bata dan air mata yang terburai ke pipi.
“Apa kamu sudah gila, heh! Untuk apa kamu melakukan itu semua? Apakah tak cukup nafkah dariku, suamimu ini sehingga kamu melakukan pesugihan tanpa sepengetahuanku…Dasar istri tak tahu diuntung…Cepat, sekarang katakan siapa yang dijadikan tumbalnya? Cepat katakan!”, ancam Iskandar dengan nada keras kepada istrinya sambil memegang kerah baju Rohaya.
“….anak, anak kita yang paling kecil!”, jawab Rohaya dengan gemetar dan tak henti-hentinya menangis.
“Sialan, ibu macam apa kamu ini? tega mengorbankan anaknya demi keuntungannya sendiri dan demi harta dunia yang dikejarnya…Kenapa, kenapa tidak kamu saja yang jadi tumbalnya, heh?”, bentak Iskandar dengan tangan yang dikepalkan seolah-oleh menahan amarah untuk tidak memukul istrinya.
“Demi keuntungan sendiri katamu? Bukankah kamu juga ikut menikmati kekayaan ini…”, jawab Rohaya berusaha membela diri.
“Iya, aku akui bahwa aku juga menikmatinya tapi itu semua tanpa sepengetahuanku. Jika saja aku tahu dari awal, aku tak sudi memakan harta yang kau dapatkan ini.”, jawab Iskandar dengan nafsu amarah yang menggebu-gebu.
Ditengah pertengkaran hebat itu, tiba-tiba Budi dan Andi terbangun dari tidurnya, begitu pula si kecil, Sugianto, ia merengek, menangis memanggil-manggil ibunya. Segera Rohaya menemui Sugianto dikamarnya dan memeluknya erat-erat. Iskandar pun langsung mengikuti istrinya, lalu berkata :
“Cepat katakan, kapan makhluk sialan itu akan datang? Cepat!”, ujar Iskandar kepada istrinya itu.
“Nanti, pertengahan malam!”, jawab Rohaya yang kemudian menciumi kening anak bungsunya itu.
Spontan Iskandar pun langsung menuju dapur lalu mengambil golok panjang miliknya yang sudah ia asah ketika pagi tadi dan langsung diikatkan dipinggangnya. Sedangkan aku segera meraih tangan Budi dan Andi lalu membawanya ke kamar, menyuruh mereka untuk tidur karena ini adalah urusan orangtua, anak-anak tidak boleh ikut campur. Aku berusaha menenangkan kedua anak itu dan meyakinkan mereka bahwa tidak terjadi apa-apa, ibu dan ayahnya hanya bertengkar biasa saja, nanti juga baikan lagi. Akhirnya, setelah beberapa lama kemudia kedua anak itu pun tertidur kembali dengan pulasnya. Aku pun lalu keluar kamar dan menutup pintu kamar tersebut, langsung saja aku menemui Iskandar yang dari tadi terus memperhatikan jam yang telah menunjukkan pukul 11.30 malam sambil terus menerus memegang golok panjangnya itu.
“Nak…”, sapaku dengan lemah lembut.
“Diamlah, bu! Aku sedang tak mau diajak bicara…”, jawabnya dengan tegas.
Mendengar jawabannya, aku pun langsung menuju ruang tamu, duduk disana, dan menangis sejadi-jadinya, tak bisa menahan haru di dada. Selama 30 menit lamanya, kami hanya berdiam diri, tidak ada seorang pun yang berbicara. Tiba-tiba, ditengah keheningan itu, terdengarlah suara teriakan dari kamar Rohaya, teriakan itu memecah kesunyian malam. Mendengar istrinya berteriak seperti itu, Iskandar langsung berlari menuju kamar dan mendapati seekor buaya putih besar berada di kamar itu, entah darimana datangnya dan bagaimana cara masuknya.
“Cepat, cepat bawa Sugianto keluar dari kamar, biar aku yang menghadapi makhluk sialan ini…”, ujar Iskandar sambil membuka golok panjang dari sarungnya, pantulan cahaya lampu kamar saat itu begitu tepat mengenai golok itu sehingga terlihat sangat mengkilat.
“Ghrrrrrr……Ghrrrrrrr….Ghrrrrrr….”, suara buaya putih itu berusaha untuk menggertak Iskandar.
Ekor buaya itu terus berkibas-kibas layaknya pecut yang siap untuk dipecutkan. Dan akhirnya, buaya itu pun menyerang Iskandar dengan ekornya yang panjang itu. Iskandar pun menahan serangan buaya itu dengan goloknya. Iskandar pun balik menyerang buaya itu dengan segera,
“Hyaaaa….”, teriakan Iskandar mengarahkan pukulan golok tajam itu ke arah tubuh buaya putih itu tetapi buaya itu tidak terluka sedikit pun, malah iskandar lah yang terpental hingga goloknya pun terlepas dari tangannya.
Dengan serta merta, buaya itu langsung menyerang Iskandar, ia berhasil menggigit paha Iskandar. Iskandar maraung-raung kesakitan, aku dan Rohaya hanya bisa terpaku tidak bisa berbuat apa-apa. Iskandar pun kemudian memegang mulut buaya putih yang dipenuhi gigi runcing itu dengan kedua tangannya, berusaha untuk membuka mulut buaya itu. Namun, buaya itu terus saja melawan sehingga dua jari tangan kanan iskandar pun putus dibuatnya. Iskandar berusaha lagi untuk melawan, ia berusaha menggapai golok miliknya yang terpental tadi yang tidak jauh dari tubuhnya. Setelah berhasil didapatkan, Iskandar mengayunkannya dengan tangan kiri ke kepala buaya itu hingga buaya itu terlihat kesakitan dan melepaskan gigitannya pada paha Iskandar. Dalam keadaan itu, Iskandar berusaha untuk berdiri padahal paha kirinya itu sudah terkoyak dan darah pun berkucur begitu deras, bekas gigitan buaya tadi. Setelah berhasil berdiri, Iskandar pun memegang goloknya erat-erat dengan tangan kirinya, berjaga-jaga kalau-kalau buaya itu menyerang kembali. Namun, ternyata diluar perkiraan, buaya putih itu tidak menyerang lagi, buaya itu malah menghilang bagai asap putih yang ditiup oleh angin. Ya…buaya itu telah pergi yang berarti sebagai pertanda bahwa teror telah usai dan perjanjian telah dibatalkan.
Melihat keadaan suaminya yang terluka parah itu, Rohaya memberikan Sugianto kepadaku, ia langsung menuju suaminya dan membopongnya ke luar kamar dan langsung mendudukannya di kursi sedangkan darah masih terus saja mengalir dari tangan dan juga paha Iskandar.
“Neng, cepat bawa suamimu segera ke puskesmas sebelum dia kehabisan darah…”, perintahku pada anakku.
Rohaya pun menghidupkan motornya, dan langsung membawa suaminya ke puskesmas yang memang saat itu buka selama 24 jam.
****
“Kukuruyuk…kukuruyuk…”, tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, pagi pun telah tiba. Iskandar yang tadi malam dibawa ke puskesmas pun sekarang dibawa ke rumah sakit karena lukanya terlalu serius. Dan baru diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit setelah luka-lukanya kering.
Disisi lain, masyarakat kampung terus bertanya-tanya tentang keadaan Iskandar yang selama beberapa minggu ini tidak kelihatan batang hidungnya, biasanya mereka melihatnya sedang nongkrong di depan rumah. Untuk menutupi kejadian mengerikan itu, aku mengatakan kepada mereka bahwa Iskandar mengalami kecelakaan sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Aku yakinkan mereka yang hendak menjenguk bahwa luka yang dialami Iskandar tidak terlalu parah sehingga sebentar lagi pun akan segera pulang. Dan sejak saat itulah, perekonomian keluarga mulai hancur, percekcokan semakin sering terjadi antara Iskandar dan Rohaya, yah…seperti yang kamu lihat sekarang, semuanya telah hancur, semuanya telah musnah, kekayaan yang tadinya diagung-agungkan pun sekarang telah tiada, sekarang kembali seperti semula, kembali menjadi cepot lagi.