Kisah Mistis Nyata Akibat Merubah Tradisi Dhukutan,18 Bayi Jadi Tumbal
Delapan belas bayi dan dua orang dewasa meninggal tanpa sebab hanya dalam kurun dua bulan. Mereka konon menjadi tumbal akibat warga desa melanggar tradisi Dhukutan.
Setiap tujuh bulan sekali bertepatan pada wuku Dhukut malam Selasa KIiwon, warga Desa Nglurah Lor dan Nglurah Kidul Tawangmangu Karanganyar menggelar tradisi Dhukutan di sebuah punden keramat situs Menggung. Situs Judi Online
Situs Menggung adalah kawasan cagar budaya yang dilindungi oleh Dinas Pelestari dan Peninggalan benda-benda purbakala. Diperkirakan situs yang dibangun era peradaban Prabu Erlangga ini adalah tempat persembahyangan Siwa Buda dan Hindu.
“Diperkirakan seblum era Erlangga situs tersebut sudah ada,” terang Mbah Ridin, sesepuh Desa Nglurah.
Bagi warga di kedua desa, situs Menggung adalah tempat bersemayamnya para leluhur yang harus mereka hormati dan lestarikan, karena tanpa adanya peran serta dan para leluhur, mustahil Desa Nglurah ada. Oleh karena itu untuk mengenang clan melestarikan apa yang telah dibangun dan ditinggalkan para leluhur, tradisi Dhukutan digelar oleh penduduk desa.
Menurut sesepuh desa, tradisi Dhukutan digelar dalam rangka mewujudkan rasa syukur penduduk desa kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmatNya,
oleh sebab itu tradisi yang digelar di situs Menggung tidak hanya diikuti oleh warga yang beragama Hindu, namun seluruh warga turut andil dalam acara tradisi adat Dhukutan.
Ungkapan wujud rasa syukur penduduk desa juga dihaturkan kepada alam semesta yang telah melimpahkan berkah basil bumi pertanian. Seluruh berkah hasil bumi yang diterima oleh penduduk desa sebagian kecil dikembalikan lagi sebagai persembahan sesaji di setiap tradisi Dhukutan. Namun persembahan sesaji tersebut berupa tumpeng beserta jajan pasar yang semuanya terbuat dari jagung.
Dikatakan oleh sesepuh desa, tiga hari menjelang pelaksaan Dhukutan, penduduk desa Iebih dulu menggelar adat kecrok, yakni menumbuk jagung. Jagung yang masih menyatu dengan bonggol dipipil dengan cara ditumbuk. Usai dipipil, biji jagung lantas dikecrok untuk yeng kedua kalinya agar kulit luar yang membungkus biji jagung mengelupas.
Jika seluruh biji jagung sudah bersih, barulah jagung-jagung digiling dijadikan tepung. Apabila jagung selesai digiling dijadikan tepung, lantas diolah dijadikan makanan sesaji tradisi Dhukutan. Di antaranya tumpeng nasi jagung, gandhik, geger sapi dan sesaji Iainya. Untuk melengkapi rangkaian sesaji nasi tumpeng ada juga sayur bhongko, bothok lamtoro, pisang setangkep dan sayur ares yang berasal dari hati batang pisang.
Sayur ares adalah sesaji yang harus ada dalam setiap tradisi Dhukutan. Sayur ini dimaknai sebagai symbol kesuburan yang diibaratkan batang pisang yang tak pernah mati meski ditebang. Selama hati pisang masih ada di dalam batang maka pohon pisang tetap akan tumbuh. Sesaji yang dibuat oleh penduduk desa berjumlah puluhan baki yang diletakkan di encek bambu beralaskan pelepah pisang.
Tepat pada malam Selasa Kliwon, rangkaian sesaji persembahan warga desa diletakkan di bangsal desa yang tak jauh dan situs candi Menggung. Di tempat ini beberapa sesaji diletakkan di sebuah ruangan khusus yang diberi beberapa tambahan seperti tebu ireng, panggang ayam, panggang tempe, kelapa muda dan daun pohon beringin.
Mitos Mistis Misteri Pantangan Dalam Tradisi Dhukutan
Satu perlakuan khusus diberlakukan bagi penduduk desa yang membuat sesaji, seluruh sesaji tidak boleh dimasak dengan cara digoreng, hanya diperkenankan ditanak dan dibakar. Selain perlakuan khusus cara memasak sesaji juga tidak boleh dicicipi. Pantangan ini terang sesepuh desa, untuk menghormati para leluhur agar jangan makan sesaji sisa dicicipi. Karena jika pantangan dilanggar, maka penduduk desa akan menerima akibatnya.
Seperti halnya penistiwa yang terjadi di awal tahun delapan puluhan. Saat itu, kenang Mbah Ridin yang merupakan salah seorang warga yang merubah tatanan upacara adat tradisi Dhukutan, acara kesenian yang semula digelan di luar komplek situs Menggung, diganti dilakukan di dalam komplek situs Menggung. Sesaji yang selalu menggunakan bahan jagung diganti dengan beras, akibatnya, dalam dua bulan penduduk desa terkena wabah pagebluk penyakit yang tidak jelas.
“Delapan belas bayi dan dua orang dewasa dalam dua bulan meninggal tanpa sebab,” kata sesepuh desa menceritakan kejadian pagebluk tahun delapan puluhan.
“Pagi sakit sore meninggal, sore sakit pagi meninggal,” ujannya.
Warga tidak menyangka jika hal sepele yang mereka Ianggar akibatnya berdampak sangat besar bagi seluruh penduduk desa.
Pantangan yang dilanggar itu bermula dari keinginan salah seorang warga desa yang sok jagoan. Warga tersebut merasa dirinya orang pintar, duk deng dan merasa paling berkuasa di Nglurah.
“Warga sebenarnya tidak ingin melanggar tradisi yang sudah digelar sejak ratusan tahun dengan tatanan kebiasaan, tetapi karena tidak berani dengan orang itu, akhirnya penduduk hanya mengiyakan saja kemauannya yang merubah tatanan tradisi Dhukutan
“Tetapi akibat yang ditimbulkan sangat fatal,” ulas Mbah Ridin
Dia menambahkan ceritanya, untuk menangkal agar pagebluk tidak terus berlanjut maka tradisi Dhukutan diulang untuk ke dua kalinya.
Sedangkan warga desa yang memprovokasi warga merubah tatanan adat akhirnya meninggal dunia tanpa sebab. Hanya saja beberapa warga desa pagi itu sempat melihat sebuah sinar cahaya melesat masuk ke dalam rumah orang tersebut. Tak lama setelah sinar masuk ke dalam rumah, dikabarkan orang yang merubah tatanan adat tradisi Dhukutan mati.
Mengawali proses pelaksanaan tradisi Dhukutan, usai seluruh sesaji disanggarkan di balai desa, tepat pada hari Selasa Kliwon pagi, warga Desa Nglurah Lor dan Nglurah Kidul berkumpul di balai desa. Mereka beriringan membawa sesaji naik ke atas puncak candi Menggung. Warga Desa Nglurah Lor naik melalui tangga utama, sedangkan warga dari desa Nglurah Kidul melewati jalan tangga di samping candi Menggung.
Iring-iringan sesaji sesampainya di atas puncak candi, seluruh sesaji lantas diletakkan di depan arca Durgandini dan arca Siwa yang disebut oleh penduduk desa sebagai arca Erlangga. Kedua arca ini dikeramatkan oleh penduduk desa, mereka meyakini jika kedua arca adalah penjaga gaib pelindung desa. Sebelum upacara doa dilakukan, arca Durgandini dan Erlanga dibalut dengan udeng ikat kepala gadung melati dan motif batik lainnya.
Di atas udeng uba rampe sesaji bunga setaman dan bunga cepaka kuning diletakan di atas kepala arca. Bunga cepaka kuning adalah bentuk penghormatan kepada para penguasa gaib yang sangat dimuliakan sebagai leluhur oleh penduduk desa setempat.
Pada saat upacara sesaji digelar, seluruh warga desa Nglurah Lor dan Nglurah Kidul berkumpul bersama di atas situs Menggung. Pada puncak acara tradisi, usai pasrah sesaji dilakukan, seluruh sesaji akan dibagi kepada warga di dua desa yang akan dipakai untuk upacara tawuran.Upacara ini menjadi puncak dari tradisi Dhukutan yang digelar di candi Menggung
Desa Nglurah, Tawangamangu Karanganyar. Sebelum upacara tawuran dilakukan, seluruh sesaji lebih dulu dijadikan satu dalam encek kayu lantas dibawa mengelilingi pelataran candi Menggung sebanyak tiga kali, sembari menyebar-nyebarkan sesaji. Pada putaran yang ketiga kalinya, sesaji disebarkan ke dalam kerumunan warga masyarakat sebagai puncak dari acara tawuran.
“Tawuran oleh penduduk desa dipakai sebagai cara untuk membuang sengkala dan tolak bala,” terang Mbah Ridin.
Usai menggelar tradisi tawuran di pelataran candi Menggung, warga di dua desa kemudian melanjutkan upacara tawur di desa Nglurah Kidul di sebuah pelataran tanah lapang yang dianggap keramat. Dikisahkan, bagi warga di dua desa, tawuran menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam Dhukutan.
Kisah Mitos Mistis Asal Mula Tradisi Tawuran Dalam Dhukutan
Tawuran bermula dari kisah perjalanan Narotama, patih Prabu Erlangga yang tengah melakukan perjalanan mencari jati diri mendekat kepada Sang Hyang Widi. Patih Narotama dikenal dengan nama mbah Menggung yang sekarang dianggap punden desa Nglurah. Nama Menggung sebenarnya memiliki makna sanepo ‘Melengake Gusti’, berusaha mendekat kepada Tuhan Yang Maha Agung.
Perjalanan mbah Menggung sampai ke Desa Nglurah diawali dari desa Beruk. Saat ia tiba di sebuah desa, Mbah Menggung melihat ada seseorang yang mengupas kelapa dengan menggunakan beruk. Melihat pekerjaan warga desa tersebut, Mbah Menggung lantas memberi nama desa yang ia lewati dengan nama Desa Beruk.
Dari Desa Beruk Mbah Menggung mampir di rumah kepala dusun, ia dijamu dengan ubi dari kebunnya sendiri. Akan tetapi pada saat dimasak, ubi tersebut tak bisa empuk alias mogol, oleh karena itu mbah Menggung lantas memberi nama desa yang Ia singgahi dengan nama Desa Mogol.
Dari desa Mogol Mbah Menggung melanjutkan perjalananya ke Gunung Lawu, namun saat melihat sebuah desa Ia termangu-manggu. Dari termangu-mangu, desa yang ia lihat lantas diberi nama menjadi Desa Tawangmangu, yang artinya melihat sembari termangu-mangu.
Perjalanan spiritual yang dilakoni patih Narotama akhirnya terhenti di Desa Nglurah. Saat berada di Desa Nglurah, Narotama bertemu dengan Nyi Rasa Putih yang tinggal di desa seberang ( Nglurah kidul). Dari awal pertemuan itu timbullah pertengkaran yang merembet kepada wanga di dua desa, Nglurah Lor dan Nglurah Kidul. Setiap kali bertemu Narotama dan Nyi Rasa Putih selalu bertengkar, tak jarang pertenggkaran itu menyebabkan warga turut berkelahi saling membela punden mereka masingmasing.
Namun pertengkaran Narotama dan Nyi Rasa putih sebenarnya benih cinta, karena dari rasa benci akhirnya timbul rasa rindu. Perasaan benci yang selama ini menggelayut di dalam batin, lama-lama semakin sirna tergantikan rindu dan cinta. Hingga terus benlanjut ke jenjang perkawinan yang dilangsungkan pada hari Selasa Kliwon wuku Dhukut. Berawal dari kisah perjalanan Narotama, tradisi Dhukutan kemudian digelar di Desa Nglurah. BANDAR POKER ONLINE
Situs Menggung bagi penduduk desa adalah tempat keramat yang sangat disakralkan. Selain dua buah arca, Erlangga dan Durgandini, terdapat juga arca dewi Kilisuci dan arca patih Narotama. Setiap waktu tertentu tidak sedikit warga dari desa lain menggelar ritual penyuwunan di dalam candi Menggung, apalagi jika bertepatan pada massa pemilihan kepala desa.
Hampir bisa dipastikan seluruh calon kepala desa akan menggelar ritual penyuwunan di situs Menggung. Mereka berharap keinginannya menduduki jabatan kepala desa bisa terkabulkan.
“Tetapi bagaimanapun kursi yang mereka rebutkan hanya satu, jadi siapa yang kuat menjalani laku maka ia yang akan terpilih pungkas Mbah Ridin.
SUMBER : http://www.expobia.id/2017/02/kisah-mistis-nyata-18-bayi-jadi-korban.html